PENDIDIKAN ISLAM DALAM PENDEKATAN MULTIDISIPLINER: Suatu Pengantar Kajian Gradual Menuju Paradigma Global
Pendahuluan
Perubahan dalam realitas merupakan suatu hukum alam dan juga merupakan “realitas keagungan Tuhan” yang harus disikapi secara flexible.
Perubahan yang terus bergulir akan mengubah perspektif yang memandang
dunia ini penuh keteraturan menjadi dunia yang turbulen. Hal tersebut
diindikasikan dengan berubahnya fase newtonian menjadi fase quantum dan economical capital menjadi intellectual capital. Perubahan-perubahan ini juga akan berimbas pada realitas konsumtif menuju realitas reinventor bahkan juga membangun realitas kompetitif-regional menjadi realitas kompetitif-global.
Perubahan tersebut akan membawa rancangan mekanisme atau aturan tersendiri yang akan menjadi suatu sistem nilai-nilai (systems of values) yang
“luhur” dan juga menjadi pegangan setiap individu, keluarga, atau
kelompok komunitas atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa
dan negara tertentu. Hal ini pernah disinyalir oleh John Naisbitt dan
Patricia Aburdence, futurlog suami istri terkemuka dunia, pada era
decade tahun 90-an yang meramalkan bahwa abad 21 merupakan era baru.[1]
Ternyata ramalan dua futurolog dunia tersebut menjadi “kebenaran tak
terbantahkan” bahwa perubahan realitas/era telah menjadi era dengan
nilai baru. Suatu era dimana yang menjadi bagian global dalam kehidupan
manusia adalah fenomena ekonomi global dan informasi. Bahkan pola relasi mengantikan hirarki sebagai modal utama untuk menyelesaikan semua problema kehidupan.
Begitu juga dengan dunia pendidikan tidak akan lepas dari unsur
perubahan, maka sangat wajar jika dari perspektif filosofis,
pembelajaran (learning) oleh Peter M. Senge diartikan dengan study and practice constanly.[2]
Karena hal tersebut tidak lepas dari hukum alam yang akan merongrong
pendidikan untuk menapak tangga yang lebih tinggi dan juga tuntut untuk
menempatkan eksistensinya sesuai dengan tuntutan realitas. Tetapi
walaupun dalam realitas tersebut terus mengalir perubahan-perubahan yang
menuntut hal lain pada dunia pendidikan dan juga pada manusia tetapi curiosity
harus tetap menjadi spirit dalam hidup manusia. Artinya kedinamisan
realitas harus diimbangi dengan gerakan konstruktif-solutif. Meminjam
statemen dari Russel bahwa “it is better to be clearly wrong than vaguely right”,[3]
maka sikap seperti itu seharusnya yang dibangun dalam tatanan kehidupan
dalam lingkaran pendidikan dan manusia sendiri untuk memunculkan suatu
sikap optimistik-selektif dan juga untuk menumbuhkan spirit dalam
mencari problem soulving untuk menjawab tuntutan realitas terhadap pendidikan (way of life long education).
Sebenarnya, esensi dari pendidikan itu sendiri adalah pengalihan
(transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide, etika dan
nilai-nilai spiritual serta estetika) dari generasi yang lebih tua
kepada generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa.[4] Proses transmisi ini diharapkan mampu untuk menjadi nilai hidup dalam mempersiapkan Sumber Daya Manusia (Human Resources) generasi berikutnya untuk menghadapi perubahan era baru.
Oleh sebab itu, dalam tataran ini, sejarah pendidikan mempunyai
sejarah yang usianya sesuai dengan alur usia masyarakat pelakunya
sendiri, sejak dari pendidikan informal dalam keluarga batih, sampai
kepada pendidikan formal dan non-formal dalam masyarakat agraris maupun
industri. Artinya, rentang waktu yang dilalui oleh pendidikan sebagai
bagian dari sejarah social kemanusiaan mempunyai hubungan erat dengan
peradaban manusia itu sendiri dan juga rentang waktu perjalanan manusia
di muka bumi. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Edward
Hallett Carr, yang dikutip oleh Djoko Soerjo, bahwa sejarah (pendidikan)
merupakan suatu dialog tiada akhir antara masa kini dan masa lalu.[5]
Selama ini sejarah pendidikan masih menggunakan pendekatan
konvensional yang umumnya bersifat diakronis yang kajiannya berpusat
pada sejarah dari ide-ide dan tokoh pemikir besar dalam pendidikan, atau
sejarah dan sistem pendidikan dan juga lembaga-lembaga, atau sejarah
perundang-undangan dan kebijakan umum dalam bidang pendidikan.
Pendekatan yang umumnya bersifat diakronis ini dianggap statis, sempit
serta terlalu melihat ke dalam. Sejalan dengan perkembangan zaman dan
kemajuan dalam pendidikan beserta segala macam masalah yang timbul atau
ditimbulkannya, penanganan serta pendekatan baru dalam sejarah
pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak oleh para sejarawan
pendidikan kemudian.
Para sejarawan, khususnya sejarawan pendidikan melihat hubungan
timbal balik antara pendidikan dan masyarakat; antara penyelenggara
pendidikan dengan pemerintah sebagai representasi bangsa dan negara yang
merumuskan kebijakan (policy) umum bagi pendidikan nasional.
Produk (output) dari pendidikan menimbulkan mobilitas sosial (vertikal
maupun horizontal); masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan yang
dampak-dampaknya (positif ataupun negatif) dirasakan terutama oleh
masyarakat sebagai konsumen pendidikan.
Fenomena pendidikan tersebut di atas merupakan lingkaran setan yang
kita tidak bisa keluar dengan hanya mengadalkan satu pendekatan yang
bersifat diakronis. Apalagi dalam pendidikan Islam yang sampai sekarang
masih mempunyai masalah serius yang dihadapi oleh sebagian besar
konseptor pendidikan Islam yaitu rendahnya tingkat kemampuan memahami
pendidikan Islam sebagai suatu “ilmu” dan pendidikan Islam sebagai suatu
“lembaga pendidikan”. Harus diakui, memahami pendidikan Islam
sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan dan membedakan pengertiannya
dengan pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan tidak semudah
seperti memahami objek ‘ilmu’ bersifat abstrak sedangkan ‘lembaga
pendidikan’ bersifat konkrit.
Sehubungan dengan di atas pendekatan sejarah pendidikan (Islam) baru
tidak cukup dengan cara-cara diakronis saja. Perlu ada pendekatan
metodologis yang baru yaitu dengan pendekatan interdisipliner. Dalam
pendekatan interdisipliner dilakukan kombinasi pendekatan diakronis
sejarah dengan sinkronis ilmu-ilmu sosial. Pada era sekarang ini,
ilmu-ilmu sosial tertentu seperti antropologi, sosiologi, dan politik
telah memasuki “perbatasan” (sejarah) pendidikan dengan “ilmu-ilmu
terapan” yang disebut antropologi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan
politik pendidikan. Dalam pendekatan ini dimanfaatkan secara optimal dan
maksimal hubungan dialogis “simbiosis mutualistis” antara sejarah
dengan ilmu-ilmu sosial.
Oleh sebab itu, penulis mencoba untuk mendeskripsikan pendidikan
Islam dengan pendekatan kombinasi yaitu pendekatan diakronis sejarah
dengan sinkronis ilmu-ilmu sosial yaitu sosiologi dan antropologi dengan
memunculkan karakteristik-karakteristiknya dan juga tokoh-tokohnya.
Serta yang terakhir penulis mencoba untuk memberikan alternatif-solutif
tentang pendekatan yang harus digunakan untuk kajian pendidikan Islam
kedepannya.
Pembahasan
Sebelum membahas lebih detail tentang pendidikan Islam dalam
pendekatan multidisipliner yaitu dari pendekatan historis (sejarah),
antropologi, dan sosiologi, maka penulis sedikit memaparkan tentang
definisi pendidikan dan pendidikan Islam. Dengan pendefinisian tersebut
akan tercipta satu konsepsi dan persepsi tentang pendidikan dan
pendidikan Islam yang intepretable, karena tergantung penekanan
pendefinisiannya. Hal pertama dilakukan dalam memeri definisi tersebut
adalah memaparkan definisi dari tokoh-tokoh yang selanjutnya penulis
menyimpulkan pendapat para tokoh tersebut untuk mendapatkan definisi
dari pendidikan Islam sebagai tema sentral dari pembahasan ini.
Menurut Crow and crow, seperti yang dikutip oleh Fuad Ihsan dalam
bukunya “Dasar-Dasar Kependidikan”, mengatakan bahwa pendidikan adalah
proses yang berisikan berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu
untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta
kelembagaan social dari generasi ke generasi.[6]
Sedangkan dalam Undang-Undang SISDIKNAS tahun 2003, pendidikan diartikan
sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan sepiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara.[7]
Sedangkan pendidikan Islam menurut Endang Saifuddin Anshori, seperti
yang dikutip oleh Azyumardi Azra, adalah proses bimbingan (pimpinan,
tuntutan, usulan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran,
perasaan, kemauan, intuisi dan sebagainya) dan raga objek didik dengan
bahan-bahan tertentu pada jangka waktu tertentu dan dengan alat
perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai
evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.[8]
Sedangkan Muhammad S. A. Ibrahimy, sebagaimana yang di kutip oleh
Syaiful dalam Laporan Penelitiannya, memberikan definisi bahwa
pendidikan Islam adalah: Islamic education in the true sense of
learn, is a system of education wich enables a man to lead his life
according of the islamic ideology, so that he may easily mould his life
accordence with tenets of Islam.[9]
Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam merupakan suatu sistem
pendidikan yang membimbing peserta didik pada perkembangan jiwa dan
raganya yang berideologi pada ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadist.
1. Pendidikan Islam Dalam Pendekatan Sejarah
Sejarah merupakan rekonstruksi masa lalu, yaitu merekonstruksi apa
saja yang sudah dipikirkan, dikerjakan, dikatakan, dirasakan, dan
dialami manusia. Namun, perlu ditegaskan bahwa membangun kembali masa
lalu bukan untuk kepentingan masa lalu itu sendiri.[10]
Sejarah mempunyai kepentingan masa kini dan, bahkan, untuk masa yang
akan datang. Oleh karenanya, orang tidak akan belajar sejarah karena
tidak akan ada gunanya. Kenyataannya, sejarah terus di tulis, di semua
peradaban dan di sepanjang waktu. Hal ini, sebenarnya cukup menjadi
bukti bahwa sejarah itu sangat urgen.[11]
Namun dalam sejarah konvensional yang banyak dideskripsikan adalah
pengalaman manusia yang menyangkut tentang sistem perpolitikan,
peperangan dan juga terdistorsi pada tataran bangun jatuhnya suatu
kekuasaan seperti dinasti, khilafah atau kerajaan. sebaliknya dalam
sejarah harus ada upaya rekonstruksi masa lalu yang berhubungan dengan
totalitas pengalaman manusia. Maka dengan konsep tersebut, sejarah
mempunyai batas-batas definisi yang longgar dibandingkan dengan
definisi-definisi ilmu sosial lainnya. Sejarah dapat didefinisikan
dengan politik masa lalu, ekonomi masa lalu, masyarakat masa lalu
ataupun sebagai sains atau ilmu pengetahuan masa lalu.
Namun kebanyakan sejarah sosial -khususnya tentang pendidikan- masih
berkutat pada pembahasan tentang sejarah ekonomi yang menyangkut tentang
aspek kehidupan manusia. Dalam hal ini, Kuntowijoyo berpendapat bahwa
sejarah sosial mempunyai hubungan erat dengan sejarah ekonomi, sehingga
menjadi semacam sejarah sosial ekonomi.[12]
Walaupun demikian, ada beberapa tema yang berkaitan dengan sejarah
sosial. Ada pengertian bahwa sejarah sosial yang mencakup berbagai aspek
kehidupan manusia kecuali masalah-masalah berkaitan masalah politik.[13]
Dari deskripsi diatas, kita bisa memetakan definisi dari sejarah
pendidikan atau terspesifikasi pada pendidikan Islam. Substansi dan
tekanan dalam sejarah pendidikan itu bermacam-macam tergantung kepada
maksud dari kajian itu: mulai dari tradisi pemikiran dan para pemikir
besar dalam pendidikan, tradisi nasional, sistem pendidikan beserta
komponen-komponennya, sampai pada pendidikan dalam hubungannya dengan
sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial atau kestabilan,
termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi, dan
gerakan-gerakan sosial. Sehubungan dengan itu semua sejarah pendidikan
erat kaitannya dengan sejarah intelektual dan sejarah sosial.[14]
Maka dalam pengkajian pendidikan Islam melalui pendekatan sejarah,
banyak para pakar pendidikan Islam mengunakan pola pemikiran
rasionalistik-fenomenologik untuk memahami pesan sejarah pendidikan
Islam. Seperti halnya dengan Ibnu Khaldun yang kapasitasnya sebagai
seorang pemikir, Ibnu Khaldun memiliki watak yang luar biasa yang
walaupun kadang terasa kurang baik. Dalam hal ini Muhammad Abdullah Enan
melukiskan kepribadian Ibnu Khaldun yang istimewa itu dengan mencoba
memperlihatkan ciri psikologik Ibnu Khaldun, walaupun diakuinya secara
moral ini tidak selalu sesuai. Menurutnya ia melihat dalam diri Ibnu
Khaldun terdapat sifat angkuh dan egoisme, penuh ambisi, tidak menentu
dan kurang memiliki rasa terima kasih. Namun di samping sifat-sifatnya
yang tersebut di atas dia juga mempunyai sifat pemberani, tabah dan
kuat, teguh pendirian serta tahan uji. Disamping memiliki intelegensi
yang tinggi, cerdas, berpandangan jauh dan pandai berpuisi.[15]
Menurut beberapa ahli, Ibnu Khaldun dalam proses pemikirannya
mengalami percampuran yang unik, yaitu antara dua tokoh yang saling
bertolak belakang, yaitu Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd.[16]
Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd bertentangan dalam bidang filsafat. Ibnu
Rusyd adalah pengikut Aristoteles yang setia, sedangkan Al-Ghozali
adalah penentang filsafat Aristoteles yang gigih. Ibnu Khaldun adalah
pengikut Al-Ghozali dalam permusuhannya melawan logika Aristoteles, dan
pengikut Ibnu Rusyd dalam usahanya mempengaruhi massa. Ibnu
Khaldun adalah satu-satunya sarjana muslim waktu itu yang menyadari arti
pentingnya praduga dan katagori dalam pemikiran untuk menyelesaikan
perdebatan-perdebatan intelektual. Barangkali karena itulah seperti
anggapan Fuad Baali bahwa Ibnu Khaldun membangun suatu bentuk logika
baru yang realistik, sebagai upayanya untuk mengganti logika idealistik
Aristoteles yang berpola paternalistik-absolutistik-spiritualistik.
Sedangkan logika realistik Ibnu Khaldun ini berpola pikir
relatifistik-temporalistik-materialistik.[17]
Dengan berpola pikir seperti itulah Ibnu Khaldun mengamati dan
menganalisa gejala-gejala sosial beserta sejarahnya, termasuk juga aspek
pendidikan, yang pada akhirnya tercipta suatu teori kemasyarakatan yang
modern. Karya-karya intelektual Ibnu Khaldun adalah sebagai berikut:
a) Kitab Muqaddimah, yang merupakan
buku pertama dari kitab al-‘Ibar, yang terdiri dari bagian muqaddimah
(pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti dari
seluruh persoalan, dan buku tersebut pulalah yang mengangkat nama Ibnu
Khaldun menjadi begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini adalah
gejala-gejala sosial dan sejarahnya.
b) Kitab al-‘Ibar, wa Diwan al-Mubtada’
wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man
Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran dan Arsip
Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa Politik
Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar
yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar,
yang terdiri dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab
Muqaddimah, atau jilid pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan
ciri-cirinya yang hakiki, yaitu pemerintahan, kekuasaan, pencaharian,
penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan dengan segala sebab
dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri dari empat jilid, yaitu
jilid kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang menguraikan tentang
sejarah bangsa Arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti
mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa
terkenal dan negara yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa Syiria,
Persia, Yahudi (Israel), Yunani, Romawi, Turki dan Franka (orang-orang
Eropa). Kemudian Buku Ketiga terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam
dan ketujuh, yang berisi tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang
merupakan bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan negara-negara
Maghribi (Afrika Utara).
c) Kitab al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun wa
Rihlatuhu Syarqon wa Ghorban atau disebut al-Ta’rif, dan oleh
orang-orang Barat disebut dengan Autobiografi, merupakan bagian terakhir
dari kitab al-‘Ibar yang berisi tentang beberapa bab mengenai kehidupan
Ibnu Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis dengan
menggunakan metode ilmiah, karena terpisah dalam bab-bab, tapi saling
berhubungan antara satu dengan yang lain.
2. Pendidikan Islam Dalam Pendekatan Antropologi
Antropologi adalah suatu ilmu yang memahami sifat-sifat semua jenis manusia secara lebih komprehensif.[18]
Antropologi pertama kali dipergunakan oleh kaum Misionaris dalam rangka
penyebaran agama Nasrani dan bersamaan dengan itu pula berlangsung
sistem penjajahan terhadap negar-negara diluar Eropa. Pada era dewasa
ini, antropologi dipergunakan sebagai suatu hal untuk kepentingan
kemanusiaan yang lebih luas. Studi antropologi selain untuk kepentingan
pengembangan ilmu itu sendiri, di negara-negara yang masuk dalam
kategori Negara ketiga (Negara berkembang) sangat urgen sebagai “pisau
analisis” untuk pengambilan kebijakan (policy) dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat.
Sebagai suatu disiplin ilmu yang cakupan studinya cukup luas, maka
tidak ada seorang ahli antropologi yang mampu menelaah dan menguasai
antropologi secara sempurna dan global. Sehingga, antropologi
terfregmentasi menjadi beberapa bagian yang masing-masing ahli
antropologi mengkhususkan dirinya pada spesialisasi bidangnya
masing-masing. Pada dataran ini, antropologi menjadi amat plural, sesuai
dengan perkembangan ahli-ahli antropologi dalam mengarahkan studinya
untuk lebih memahami sifat-sifat dan hajat hidup manusia secara lebih
komprehensif. Dan hubungan dengan ini pula, ada bermacam-macam
antropologi seperti antropologi ekonomi, antropologi politik,
antropologi kebudayaan, antropologi agama, antropologi pendidikan,
antropologi perkotaan, dan lain sebagainya. Grace de Raguna, seorang
filsuf wanita pada tahun 1941, menyampaikna pidatonya dihadapan American Philosophical Association Eastern Division,
bahwa antropologi telah memberi lebih banyak kejelasan tentang sifat
manusia daripada semua pemikiran filsuf atau studi para ilmuwan di
laboratoriumnya.[19]
Dan dalam studi kependidikan yang dikaji melalui pendekatan
antropologi, maka kajian tersebut masuk dalam sub antropologi yang bias
dikenal menjadi antropologi pendidikan. Artinya apabila antropologi
pendidikan dimunculkan sebagai suatu materi kajian, maka yang objek
dikajiannya adalah penggunaan teori-teori dan metode yang digunakan oleh
para antropolog serta pengetahuan yang diperoleh khususnya yang
berhubungan dengan kebutuhan manusia atau masyarakat. Dengan demikian,
kajian materi antropologi pendidikan, bukan bertujuan menghasilkan
ahli-ahli antropologi melainkan menambah wawasan ilmu pengetahuan
tentang pendidikan melalui perspektif antropologi. Meskipun
berkemungkinan ada yang menjadi antropolog pendidikan setelah memperoleh
wawasan pengetahuan dari mengkaji antropologi pendidikan.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kedudukan antropologi
pendidikan sebagai sebuah disiplin studi yang tergolong baru di tambah
kata “Islam” sehingga menjadi “antropologi pendidikan Islam”. Hal ini
telah menjadi sorotan para ahli pendidikan Islam, bahwa hal tersebut
merupakan suatu langkah yang ada relevansinya dengan isu-isu Islamisasi
ilmu pengetahuan.[20] Dengan pola itu, maka
antropologi pendidikan Islam tentunya harus dikategorikan “sama” dengan
ekonomi Islam. Artinya bagaimana bagunan keilmuan yang ditonjolkan dalam
ekonomi Islam muncul juga dalam dalam antropologi pendidikan Islam,
sehingga muncul pula kaidah-kaidah keilmiahannya yang bersumber dari
kitab suci Al Qur’an dan dari As Sunah. Seperti dalam ekonomi Islam
(juga Hukum Islam) yang sejak awal pertumbuhannya telah diberi contoh
oleh Nabi Muhammad dan diteruskan oleh para sahabat. Maka antropologi
pendidikan Islam, kaidah-kaidah keilmiahannya harus juga bersumber atau
didasarkan pada Al Qur’an dan As Sunah. Akan tetapi dalam sejarah
kebudayaan Islam belum ada pengakuan terhadap tokoh-tokoh atau pelopor
antropologi yang diakui dari zaman Nabi Muhammad atau sesudahnya.[21]
Karakteristik dari antropologi pendidikan Islam adalah terletak pada
sasaran kajiannya yang tertuju pada fenomena pemikiran yang berarah
balik dengan fenomena Pendidikan Agama Islam (PAI). Pendidikan Agama
Islam arahnya dari atas ke bawah, artinya sesuatu yang dilakukan berupa
upaya agar wahyu dan ajaran Islam dapat dijadikan pandangan hidup anak
didik (manusia). Sedangkan antropologi pendidikan Islam dari bawah ke
atas, mempunyai sesuatu yang diupayakan dalam mendidik anak, agar anak
dapat membangun pandangan hidup berdasarkan pengalaman agamanya bagi
kemampuannya untuk menghadapi lingkungan.[22]
Masalah ilmiah yang mendasar pada Pendidikan Agama Islam adalah berpusat
pada bagaimana (metode) cara yang seharusnya dilakukan. Sedangkan
masalah yang mendasar pada antropologi pendidikan Islam adalah berpusat
pada pengalaman apa yang ditemui.
Ibnu Sina, yang kita kenal sebagai tokoh kedokteran dalam dunia Islam
ternyata juga merupakan sorang pemerhati pendidikan anak usia dini yang
merupakan pengalaman pertama anak. Dalam kitabnya al-Siyasah,
Ibnu Sina banyak memaparkan tentang pentingnya pendidikan usia dini yang
dimulai dengan pemberian “nama yang baik” dan diteruskan dengan
membiasakan berperilaku, berucap-kata, dan berpenampilan yang baik serta
pujian dan hukuman dalam mendidikan anak.[23] Dan
juga yang paling urgen adalah penanaman nilai-nilai sosial pada anak
seperti rasa belas kasihan (confession) dan empati terhadap orang lain.[24]
Kaya-karya Ibnu Sina yang cukup terkenal antara lain:
a) Al-Syifa’, sebuah karya filsafat.
b) Fi Aqsam ‘Ulum al-Aqliyyah, sebuah kitab logika.
c) Al-Siyasah
d) Mabhats ‘an al-Quwa al-Nafsaniyyah
e) Dan lain sebagainya.
3. Pendidikan Islam Dalam Pendekatan Sosiologi
Sosiologi merupakan suatu disiplin ilmu sosial yang mempelajari tentang masyarakat.[25]
Masyarakat, menurut Emile Durkheim seperti yang dikutip oleh
Ishomuddin, itu terdiri atas kelompok-kelompok manusia yang hidup secara
kolektif,[26] kehidupan tersebut memerlukan
interaksi antara satu dengan yang lain, baik secara individu maupun
kelompok. Sedangkan seorang sosiolog yaitu Alvin Bertrand, seperti yang
dikuti oleh Bahrein T. Sugihen, memandang sosiologi sebagai suatu ilmu
yang mempelajari dan menjelaskan tentang hubungan antar manusia (human relationship).[27]
Dengan demikian, secara esensial sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hubungan manusia dalam hidup ditengah-tengah masyarakat. Unsur utama
dalam sosiologi adalah interaksi, masyarakat, proses dan kehidupan
manusia.
Dalam prakteknya sosiologi seperti halnya ilmu sosial lainnya telah
banyak diterapkan dalam berbagai bidang salah satunya adalah dalam
pertanian sehingga muncul ilmu terapan sosiologi yaitu sosiologi
pertanian. Oleh sebab itu, sosiologi juga diterapkan dalam pendidikan
yang muncu ilmu terapan yaitu sosiologi pendidikan yang oleh Ary H.
Gunawan didefinisikan sebagai sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan
masalah-masalah pendidikan yang fundamental.[28]
Sedangkan oleh S. Nasution, sosiologi pendidikan diartikan sebagai ilmu
yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan
untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik.[29]
Titik-tolak dari pandangan ini ialah prioritas kepada kebutuhan
masyarakat dan bukan kepada kebutuhan individu. Peserta didik adalah
anggota masyarakat. Dalam sejarah perkembangan manusia kita lihat bahwa
tuntutan masyarakat tidak selalu etis. Versi yang lain dari pandangan
ini ialah developmentalisme. Proses pendidikan diarahkan kepada
pencapaian target-target tersebut dan tidak jarang nilai-nilai
kemanusiaan disubordinasikan untuk mencapai target pembangunan.
Pengalaman pembangunan Indonesia selama Orde Baru telah mengarah kepada
paham developmentalisme yang menekan kepada pencapaian pertumbuhan yang
tinggi, target pemberantasan buta huruf, target pelaksanaan wajib
belajar 9 dan 12 tahun.
Salah satu pandangan sosiologisme yang sangat populer adalah
konsiensialisme yang dikumandangkan oleh ahli pikir pendidikan Ferkenal
Paulo Freire, seorang Doktor sejarah dan filsafat pendidikan di
Universitas Recife, Brasil dan juga seorang praktisi pendidikan yang
banyak menggagas pendidikan liberatif.[30]
Pendidikan yang dikumandangkan oleh Freire ini yang juga dikenal sebagai
pendidikan pembebasan pendidikan adalah proses pembebasan.
Konsiensialisme yang dikumandangkan Freire merupakan suatu pandangan
pendidikan yang sangat mempunyai kadar politis karena dihubungkan dengan
situasi kehidupan politik terutama di negara-negara Amerika Latin.
Paulo Freire di dalam pendidikan pembebasan melihat fungsi atau hakikat
pendidikan sebagai pembebasan manusia dari berbagai penindasan. Sekolah
adalah lembaga sosial yang pada umumnya mempresentasi kekuatan-kekuatan
sosial politik yang ada agar menjaga status quo hukum membebaskan
manusia dari tirani kekuasaan. Status qua atau di dalam istilah Paulo
Freire “kapitalisme yang licik”. Sekolah harus berfungsi membangkitkan
kesadaran bahwa manusia adalah bebas.
Karya-karya Paulo Freire ini diantaranya adalah: Paedagogy of The Oppressed (1970), Cultural Action of Freedom (1970), Education for Critical Consiousness (1973), Education: The Practice of Freedom (1976), The Politics of Education: Culture, Power, and Liberation (1980) dan juga telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seperti Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan (Jakarta: Gramedia, 1980) dan Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: LP3ES, 1991).[31]
Konseptualisasi
Hakikat pendidikan itu dapat dikategorisasikan dalam dua pendapat
yaitu pendekatan epistemologis dan pendekatan ontologi atau metafisik.
Kedua pendekatan tersebut tentunya dapat melahirkan jawaban yang
berbeda-beda mengenai apakah hakikat pendidikan itu sendiri, artinya
dengan pendekatan yang berbeda-beda akan melahirkan penekanan yang
berbeda-beda pula dalam mendekati satu objek.
Di dalam epistemologi pendidikan yang menjadi masalah adalah akar
atau kerangka ilmu pendidikan sebagai ilmu. Pendekatan tersebut mencari
makna pendidikan sebagai ilmu yaitu mempunyai objek yang akan merupakan
dasar analisis yang akan membangun ilmu pengetahuan yang disebut ilmu
pendidikan. Dari sudut pandang tersebut, pendidikan dilihat sebagai
sesuatu proses yang interen dalam konsep manusia. Artinya manusia hanya
dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan.
Dalam konsep epistemologi pendidikan, perbedaan materi pelajaran dan
perbedaan sosial-budaya-ekonomi-politik yang dijalani peserta didik dan
pendidik itu hanya merupakan manifestasi bentuk luarnya, namun secara
substansial sama. Dasar-dasar inilah yang merupakan dasar-dasar integrated curriculum. Sedangkan AM. Saefuddin dalam bukunya “Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi” mengatakan bahwa integrated curriculum,
disini bias menifestasikan berupa pelarutan dua hal yang berbeda untuk
dipadukan baik secara substantif maupun normatif yang hasilnya sudah
tidak bias dibeda-bedakan jenisnya, ataupun pencampuran di mana hasil
perpaduannya masih bias dibedakan baik secara substantif maupun
normatif.[32]
Berbeda hal dengan Jerome Bruner dalam bukunya “The Process of Education” yang mengatakan bahwa “pelarutan” disini berarti “integrated curriculum”, sedangkan “pencampuran” berarti “correlated curriculum”.[33]
Artinya dalam upaya pembenahan pendidikan tersebut banyak hal yang
perlu direkonstruksi atau bahkan didekonstruksi untuk menemukan suatu
tatanan pendidikan yang lebih baik dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Oleh sebab itu, perlu adanya pendekatan baru untuk menemukan hakikat
pendidikan yang koheren dengan perubahan zaman dan sesuai dengan pola
perkembangan peserta didik. Maka, penulis mencoba untuk memetakan dan
memberikan pendekatan baru dalam meneropong pendidikan Islam sebagai
pendidikan alternatif-solutif.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, berbagai pendapat mengenai
hakikat pendidikan dapat digolongkan atas dua kelompok besar yaitu:
Pendekatan reduksionisme dan holistik-integratif. Pendekatan
reduksionisme melihat proses pendidikan peserta didik dan keseluruhan
termasuk lembaga-lembaga pendidikan, menampilkan pandangan ontologis
maupun metafisis tertentu mengenai hakikat pendidikan. Teori-teori
tersebut satu persatu sifatnya mungkin mendalam secara vertikal namun
tidak melebar secara horizontal.
Peserta didik, anak manusia, tidak hidup secara terisolasi tetapi dia
hidup dan berkembang di dalam suatu masyarakat tertentu, yang
berbudaya, yang mempunyai visi terhadap kehidupan di masa depan,
termasuk kehidupan pasca kehidupan. Oleh sebab itulah, M Kamal Hasan,
sebagaimana di kutip Samsul Nizar, memberikan pengertian bahwa
pendidikan Islam adalah “suatu proses yang komprehensif dari
pengembangan kepribadian manusia secara keseluruhan, yang meliputi
intelektual, spiritual, emosi, dan fisik.[34]
Pendekatan reduksionisme terhadap hakikat pendidikan, maka dirumuskan
suatu pengertian operasional mengenai hakikat pendidikan. Hakikat
pendidikan adalah suatu proses menumbuh-kembangkan eksistensi peserta
didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi
lokal, nasional dan global. Rumusan operasional mengenai hakikat
pendidikan tersebut di atas mempunyai komponen-komponen sebagai berikut :
a) Pendidikan Merupakan Suatu Proses Berkesinambungan
Proses berkesinambungan yang terus menerus dalam arti adanya
interaksi dalam lingkungannya. Lingkungan tersebut berupa lingkungan
manusia, lingkungan sosial, lingkungan budayanya dan ekologinya.
Sehingga dalam proses pendidikan adalah proses penyelamatan kehidupan
sosial dan penyelamatan lingkungan yang memberikan jaminan hidup yang
berkesinambungan.
Proses pendidikan yang berkesinambungan berarti bahwa manusia tidak pernah akan selesai.
b) Proses pendidikan Berarti Menumbuhkembangkan Eksistensi Manusia
Eksistensi manusia merupakan suatu keberadaan yang
interaktif-interkonektif. Eksistensi manusia harus mempunyai arti dengan
hubungan sesama manusia baik yang dekat maupun dalam ruang lingkup yang
semakin luas dengan sesama manusia di dalam planet bumi ini. Proses
pendidikan bukan hanya mempunyai dimensi lokal tetapi juga berdimensi
nasional dan global.
c) Eksistensi Manusia Yang Memasyarakat
Proses pendidikan adalah proses mewujudkan eksistensi manusia yang
memasyarakat. J. Dewey, seperti yang dikutip oleh Sri Widayati,
mengatakan bahwa tujuan pendidikan tidak berada di luar proses
pendidikan itu tetapi di dalam pendidikan sendiri karena sekolah adalah
bagian dari masyarakat itu sendiri. Apabila pendidikan diletakkan dalam
tempat yang sebenarnya maka ialah sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari kehidupan manusia yang pada dasarnya adalah kehidupan bermoral.[35]
d) Proses Pendidikan Dalam Masyarakat Yang Membudaya
Inti dari kehidupan bermasyarakat adalah nilai-nilai. Nilai-nilai
tersebut perlu dihayati, dilestarikan, dikembangkan dan dilaksanakan
oleh seluruh anggota masyarakatnya. Penghayatan dan pelaksanaan
nilai-nilai yang hidup, keteraturan dan disiplin para anggotanya. Tanpa
keteraturan dan disiplin maka suatu kesatuan hidup akan bubar dengan
sendirinya dan berarti pula matinya suatu kebudayaan.
e) Proses Bermasyarakat Dan Membudaya Mempunyai Dimensi-Dimensi Waktu Dan Ruang
Dengan dimensi waktu, proses tersebut mempunyai aspek-aspek
historisitas, kekinian dan visi masa depan. Aspek historisitas berarti
bahwa suatu masyarakat telah berkembang di dalam proses waktu, yang
menyejarah, berarti bahwa kekuatan-kekuatan historis telah menumpuk dan
berasimilasi di dalam suatu proses kebudayaan. Proses pendidikan adalah
proses pembudayaan, dan proses pembudayaan adalah proses pendidikan.
Menggugurkan pendidikan dari proses pembudayaan merupakan alienasi dari
hakikat manusia dan dengan demikian alienasi dari proses humanisasi.
Alienasi proses pendidikan dari kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan
dari perwujudan nilai-nilai moral di dalam kehidupan manusia.
Kompenen-kompenen hakikat pendidikan itu harus diintegralkan dalam
kurikulum pendidikan Islam sebagai langkah awal membangun paradigma
pendekatan holistic-integratif. Kurikulum yang oleh J. Galen Saylor dan
William M. Alexander dalam bukunya Curriculum Planning For Better Teaching And Learning, menjelaskan arti kurikulum dengan “The
curriculum is the sum total of schools efforts to influence learning,
whether instruksional the clasroom, on the playgroup, or out of school”.[36]
Ini artinya sesuatu diluar konsteks pembelajaran atau konstek sekolah
yang masih mempengaruhi atau membawa implikasi logis-konstruktif
pada peserta didik dapat kita asumsikan bahwa itu adalah kurikulum. Dan
segala sesuatu yang berimplikasi pada peserta didik tersebut harus
teraktualisasikan dalam bentuk aplikatif-kongkrit.
Momentum pada aplikatif-kongkrit akan memunculkan learning by doing, artinya kurikulum yang sebagai the sum total of schools tidak pada hanya ranah kognitif an sich
tetapi juga pada ranah afektif dan psikomotorik. Dan pada tataran ini
juga suatu kurikulum berdiri pada platform universal, artinya kurikulum
terkonstruk dengan konteks makro atau global tidak pada konteks-spesifik
ataupun sebaliknya. Hal ini akan berimplikasi pada dualitas output,
sebab ketika konteks diglobalkan atau dispesifikan maka akan memunculkan
suatu sikap pesimistik-degradasi yang memiskinkan kreatifitas makro
atau mikro dan konstruk kehidupan yang destruktif. Hal ini tidak hanya
tertuju pada dirinya sendiri tetapi juga pada orang lain dan lingkungan
sekitarnya.
Pada abad pertengahan tepatnya pada abad ke-XI di Madrazah Nizamiyyah
terjadi penspesifikan kurikulum yang hanya menekankan pada supremasi
fiq’h an sich. Semua cabang ilmu agama yang lain diperkenalkan dalam rangka menompang superioritas dan penjabaran hukum Islam. Fiq’h oriented education adalah ciri yang menonjol pada masa itu sehingga Madrazah Nizamiyyah benar-benar menjadi model pendidikan yang dikotomi.[37]
Hal tersebut membuktikan bahwa spesifikasi kurikulum pada hal-hal yang
mikro akan membawa konsekuensi atau berdampak pada sub-sub lainnya
bahkan akan mengkonstruk paradigm dan mainstream dikotomik.
Namun dalam konteks pendidikan Islam sendiri, kurikulum yang merupakan planning of learning
dan dalam tataran idea terbingkai (frame) dalam integritas antara
hal-hal yang profan dan yang sakral. Bahkan hal tersebut telah menjadi
tujuan pendidikan Islam untuk menkonstruk manusia menjadi manusia
bertaqwa, manusia yang dapat mencapai al-falaah.[38]
Tetapi kurikulum Islam belum mampu untuk mengkonstruk dan menelorkan
manusia yang mampu meintegritaskan ilmu profan yang
sekuleristik-rasionalistik dengan ilmu sakralistik yang cendrung pada taken for granted dan wahyuistik (kebenaran mutlak). Performa kurikulum Islam yang memegang konsep continue education dan life long education
tebentur dengan problem klasik yang tetap aktual karena masih sering
segar dipersoalkan oleh para pakar pendidikan (Islam) dan telah menjadi
public image bahwa adanya dikotomik dalam dunia pendidikan Islam.
Problema dikotomik ini terkover dalam clasical education paradigm,
dimana konsep paradigma pendidian klasikal membutuhkan re-education
atau bahkan de-education pada era kontemporer-globalisasi. Problema
dikotomik mendorong pada dualitas fundamental dan memfregmentasi atau
menkristalisasi paradigma menjadi dua wilayah yaitu antara konservatif-status quo dan liberal-konstektual.[39]
Pada liberal-konstektual menurut pandangan A.C. Ornstein dan Daniel
U. Levine, menancapakan pada pemikiran dan pendidikan Yunani, Romawi,
Arabic Learning, Kontibusi Medieval, Kontribusi Renaissance, Reformasi
Religi dan gerakan The Age of Reason.[40] Bertolak
pada ranah optimistik-fungsionalistik itulah, liberalis-kontekstual
mengembang pendidikan sesuai dengan kebutuhan era (needs era). Maka dialektika antara das sollen dan das sein, antara realitas dan idea memunculkan metodologi supremacy of reason. Nah… ketika tuntutan era menghendaki manusia instans dengan human resource yang tinggi dan juga pada capability,
pendidikan liberal-konstektual mampu untuk menghadirkan dan
menyajikannya. Akan tetapi karekteristik pendidikan
liberalis-kontekstual adalah sebagai refeksi pemikiran dan kultur abad
XVIII-XIX yang ditandai dengan isolirnya terhadap agama, sekularisme
negara, materialism, penyangkalan terhadap wahyu dan penghapusan nilai-nilai etika yang kemudian digantikan dengan pragmatism.[41]
Materialisme akan memunculkan sikap hedonistik dan konsekuensinya sikap
itu akan melahirkan sikap rasionalistik-empiristik tanpa ada landasan
pada humanis-teosentris.
Seharusnya sikap rasionalistik- empiristik dikembangkan dalam frame
etiket yang representatif untuk membangun peradaban manusia. Kalau kita
sedikit membaca gerakan the age of enlightenment yang diprosesi melalui reason and scientific method dengan konsistensi kausalis dogmatisasi rasio, maka intuition dan heart dikalahkan oleh supremacy of reason dengan akal payungnya. Reason, brain, dan heart memiliki posisi determinan tanpa ada yang yang dilebihkan antara position yang satu dengan yang lainnya. Menurut teori dari Muhammad Iqbal bahwa knowledge
is a progressive ideal starting from the knowledge provided by sense;
perseption and ending with knowledge provided by heart.[42]
Persoalannya adalah karekteristik pendidikan liberalis-kontekstual yang mengedepankan reason daripada intuition.
Sedangkan fungsionalisasi instrumen-instrumen yang dimiliki manusia itu
untuk mengungkapkan hal-hal diluar dirinya atau nomena (metafisika) ada
pada batas liminitas. Maka energial untuk dapat memberikan kontribusi
pada manusia sendiri atau pada peradabannya hanya sebatas
liminitas-parsialis. Ketidakmampuan manusia untuk mendeduktifkan dan
meninduktifkan penjelajahanya terhadap nomena secara
holistik-komprehensif membutuhkan kurikulum atau planning of learning
yang berdiferensial qur’anik dan sunnatik. Dengan landasan itu
nilai-nilai pendidikan yang terancang dalam kurikulum dapat dijadikan
sebagai way of life yang diyakini sebagai representasi dari kebenaran.
Konservatif-status quo mampu untuk menjawab persoalan-persoalan yang membutuhkan aspek keseimbangan antara reason dan intuition, sebab konservatif-status quo merupakan representasi dari planning of learning
yang berdiferensial qur’anik dan sunnatik. Tetapi dengan metodologi
klasiknya konservatif-status qou belum mampu atau bahkan tidak akan
pernah melahirkan manusia instans yang mempunyai human resource dan capability yang tinggi. All round living
mampu dihadirkan pada kehidupan aktual manusia dan mengembangkan aspek
kreatif kehidupan sebagai suatu uji coba atas keberhasilan suatu lembaga
sehingga manusia mampu berkembang dalam kemampuannya yang aktual untuk
aktif memikirkan hal-hal yang baik untuk diaktualisasikan.[43]
Itu seharusnya yang disiapkan atau yang harus mampu diberikan oleh
kurikulum untuk mencapai tujuan (goal) pendidikan yang mempunyai sifat integrated dan komperhensif, mencakup ilmu agama dan ilmu umum. Maka ketika sifat integreted dan komperhensif mampu diwujudkan lahirlah sosok manuia mempunyai The Conscious of God dengan spirit liberating and civilizing.
Adalah hal yang urgen, ketika kurikulum diintegritaskan agar gap antara science yang merupakan representasi dari liberalis-kontektualis dengan science relegius dari kubu konservatif-statu quo tidak terlalu menganga lebar. Fenomena antara science dan science relegius menunjukan bahwa science dalam perkembangannya revolutif tetapi sebaliknya science relegius dalam perkembangannya evolutif-gradual. Maka penguasaan metodologi dalam suatu ilmu dan juga “dekompartementalisasi”[44]
merupakan langkah kongkrit-solutif. Mengapa hal seperti itu harus
dilakukan dengan rancangan dan langkah-langkah kongkrit?. Yang pertama
dan paling fundamental ditarik keranah pendidikan sendiri adalah
pengkonstrukan mainstream dan paradigma integreted atau pada penguasaan epistemologi nondikotomiknya yang natinya mampu untuk menciptakan konkrit solution. Artinya ketika grand teory suatu science telah dikuasai dan mampu mengkreasikan antara rasionalistik-empirinistik dengan planning of learning
yang berdeferensial qur’anik dan sunnatik maka output sekolah yang
berbasiskan agama (Islam) tidak dalam frame skeptisistik. Apalagi saat
ini man-power dikalahkan oleh man-mind, artinya kemampuan berpikir manusia harus merupakan suatu kemahiran dasar (basic skill). Kemampuan berpikir tidak bisa diharapkan lahir dengan sendirinya sebagai by product
dari proses belajar mengajar. Proses pengembangan kemampuan berpikir
haruslah merupakan proses yang terintegrasi secara formal dalam struktur
proses belajar.[45]
Penutup
Selama ini studi pendidikan Islam masih menggunakan pendekatan
konvensional yang umumnya bersifat diakronis yang kajiannya berpusat
pada sejarah dari ide-ide dan tokoh pemikir besar dalam pendidikan, atau
sejarah dan sistem pendidikan dan juga lembaga-lembaga, atau sejarah
perundang-undangan dan kebijakan umum dalam bidang pendidikan.
Sehubungan dengan itu, maka harus ada pendekatan sejarah pendidikan
(Islam) baru yang hanya tidak cukup dengan cara-cara diakronis saja.
Perlu ada pendekatan metodologis yang baru yaitu dengan pendekatan
interdisipliner.
Pendekatan interdisipliner tersebut adalah pendekatan
holistik-integratif yang berbasiskan pada komponen-komponen hakikat
pendidikan dan pola itu harus diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan
Islam sebagai langkah awal menuju paradigma pendidikan nondikotomik yang
merupakan anak kandung dari pendekatan konvensional yaitu pendekatan
yang bersifat diakronis. Maka ketika sifat integreted dan komperhensif mampu diwujudkan lahirlah sosok manuia yang mempunyai The Conscious of God dengan spirit liberating and civilizing.
Billahi Taufiq wal Hidayah, …
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
[1] Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi. Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Benang Tradisi Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2004. Hal: 1
[2] Peter M. Senge. The Fifth Discipline. Los Angeles: Currency Doubleday. 1994. Hal: 23
[3] Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Relegius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gama Media. 2002. Hlm: 9
[4] Sedangkan John Dewey, seperti yang dikuti oleh A. Malik Fadjar mengatakan bahwa pendidikan merupakan suatu kebutuhan hidup (a necessity of life), sebagai bimbingan (a direction), sebagai sarana pertumbuhan (a growt)
, yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup.
Pendidikan mengandung misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup serta
perubahan-perubahan terjadi. A. Malik Fadjar. Visi Pembaharuan Pendidikan Islam. Jakarta: LP3NI. 1998. Hal: 54
[5] Djoko Soerjo. Sejarah Sosial Intelektual Islam: Sebuah Pengantar, dalam Nor Huda. Islam Nusantara: Sejarah Intelektual Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2007. Hal: 26
[6] Fuad Ihsan. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2005. Hal: 4
[7] Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) 2003. Jakarta: Sinar Grafika. 2003. Hal: 2
[8] Azyumardi Azra. Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 2002. Hal: 6
[9] Drs. Saiful, M. Ag. Tujuan Pendidikan Islam: Tinjauan Kritis Atas Pemikiran Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi (Laporan Penelitian). STAIN Jember. 1999. Hal: 10
[10] Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. 1995. Hal: 17
[11] Ibid. Hal: 19. Dalam hal ini,
Kuntowijoyo menjelaskan bahwa sejarah mempunyai nilai guna intrinsic:
(1) sejarah sebagai ilmu, (2) sejarah sebagai cara mengetahui masa
lampau, (3) sejarah sebagai penyataan pendapat, dan (4) sejarah sebagai
profesi, sedangkan nilai guna ekstrinsik, yakni sebagai pendidikan: (1)
moral, (2) Penalaran, (3) politik, (4) kebijakan, (5) perubahan, (6)
masa depan, (7) keindahan, dan (8) ilmu bantu , selain berfungsi sebagai
(9) latar belakang (10) rujukan, dan (11) bukti.
[12] Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2003. Hal: 39
[13] Nor Huda. Islam Nusantara … Op. Cit. Hal: 8
[14] John E. Talbott. Education in Intellectual and Social History, dalam Felix Gilbert & Stephen R. Graubard, ed. Historical Studies Today. 1992. New York: W.W. Hal: 210
[15] Muhammad Abdullah Enan. Ibnu Khaldun: His Life and Work. Peterj: Muhammad Qodari Arif. Jakarta: Kencana. 1999. Hal: 65. Lihat juga dalam Husayn Ahmad Amin. Seratus Tokoh Dalam Islam. Peterj: Bahruddin Fannani. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 1995. Hal: 242
[16] Juwariyah. Ibnu Khaldun Dan Pemikirannya Tentang Filsafat Pendidikan. Skripsi Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan kalijaga. Yogyakarta. 2004. Hal: 76
[17] Fuad Baali dan Ali Wardi. Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam. Peterj: Osman Ralibi. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999. Hal: 49
[18]Williiam A. Haviland. Antropologi. Peterj: RG Soekarjo. Jakarta: Erlangga. 1988. Hal: 3
[19] Ibid. Hal: 5
[20] Bahkan dalam pengkajian agama yang
dikaji dari aspek antropologi telah banyak digunakan dalam rangka
menemukan atau mendekati eksistensi kebenaran dari fenomena agama.
Bahkan sekarang ini ada kecenderungan untuk melihat Islam secara
menyeluruh dengan menonjolkan ciri-ciri Islam lokal. Kajian semacam
Marshal Hodgson yang mencoba menggabungkan perjalan pergumulan Islam
dengan budaya maupun peradaban lokal menunjukkan suatu hasil yang
memuaskan. Buku The Venture of Islam, tidak
saja menghasilkan sebuah peta besar keberagaman Islam, tetapi juga
merupakan tantangan tersendiri bagi pengamat Islam untuk menerjemahkan
makna keberagaman itu. Di lain pihak, buku itu menyisakan banyak “homework”
untuk kita semua bagaimana mengembangkan pemahaman dan kajian Islam di
tingkat lokal untuk melihat keragaman dan kekayaan Islam lokal.
[21] Abd. Shomad. Selayang Pandang Tentang Antropologi Pendidikan Islam, dalam www.uin-suka.info/ejurnal/selayang_pandang_tentang_antropologi_pendidikan_islam
[22] Ibid.
[23] Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi. Membuka Jendela … Op. Cit. Hal: 253
[24] Ibid. Hal: 257
[25] Menurut Aguste Comte, yang dinamakan
masyarakat adalah kelompok-kelompok makhluk hidup dengan
realitas-realitas baru yang berkembang menurut hokum-hukumnya sendiri
dan berkembang menurut pola perkembangannya sendiri. Abdul Syani. Sosiologi Skematika, Teori , Dan Terapan. Bandung: Bumi Aksara. 1992. Hal: 4
[26] Ishomuddin. Sosiologi Perspektif Islam. Malang: UMM Press. 1997. Hal: 9
[27] Bahrein T. Sugihen. Sosiologi Pedesaan: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996. Hal: 4
[28] Ary H. Gunawan. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Renika Cipta. 2000. Hal: 45
[29] Ibid. Hal: 3
[30] A. Malik Fajar. Kata Pengantar: Kembali Ke Jiwa Pendidikan, Memperkokoh Wacana Humanisasi Pendidikan Islam, dalam Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi. Membuka Jendela … Op. Cit. Hal: 1-2
[31] Ibid.
[32] AM. Saefuddin. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan. 1993. Hal: 114
[33] Jerome Bruner. Proses Pendidikan: Upaya Pembenahan Pendidikan. Jakarta: Binarupa Aksara. 1994. Hal: 59
[34] Samsul Nizar. Pengantar Dasar-dasar Pendidikan Islam. Gaya Media Pratama. 2001. Hal: 93
[35] Sri Widayati. Hakikat Pendidikan, (laporan Penelitian). Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. 2002. Hal: 10 (Laporan Tidak Diterbitkan)
[36] S. Nasution. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara. 1999. hlm: 4
[37] Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik…Loc. Cit. Hlm: 110
[38] Soeroyo. Antisipasi Pendidikan Islam Dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita Dan Fakta. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 1994. hlm: 43
[39] dua istilah tersebut adalah konstruksi
dari penulis sendiri. asumsi penulis berkenaan dengan istilah
konservatif-status quo bahwa pendidikan Islam masih berpatokan pada
transfer of knowledga an sich tanpa mengembangkan pada tataran
metodologi ilmu pengetahuan. Ini diindikasikan dengan masih berpegang
teguhnya para sarjana pendidikan Islam pada nilai klasikalnya, walaupun
pada hari ini paradigma terebut ada pergesaran. Sedangkan istilah
liberal-konstektual adalah pendidikan liberalis-kontekstual yang selalu
mengikuti alur ruang dan waktu atau dalam bahasa lain pendidian
liberalis-kontekstual terkonstruk sesuai dengan tuntutan era.
[40] Roihan Achwan. Konstruksi Filosofis Pendidikan Islam, dalam Religiusitas Iptek. Bandung: Pustaka Pelajar. 1998. hlm: 66
[41] Amrullah Achmad, Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam, dalam Pendidikan Islam…Op. Cit. Hlm: 86
[42] Roihan Achwan. Konstruksi Filosofis….Op. Cit. Hlm: 71
[43] M. Arifin. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali. 1987. Hlm: 95
[44] Meminjam istilah dari penulis makalah Menimbang Kurikulum IAIN: Kasus Kurikulum 1995 dan 1997 yaitu Masykuri Abdillah. www.ditpertais.net/artikel/default.asp
[45] Abdurrahman Mas’ud. Peran Mahasiswa Dalam Mengembangkan Tradisi Akademik di PTA. Makalah yang dipresentasikan di STAIN Jember 1 September 2003
dikutip dari:
Imronfauzi.wordpress.com
No comments:
Post a Comment